Rabu, 24 Juli 2013

Fiqhi Undangan dan Walimah

Salah satu diantara kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- ;

إذا دعاك فأجبه

Kata “دعا” adalah bentuk kata kerja dari kata “دعوة”, yang berarti ajakan. Maka dipahami dari pengertian kata ini adanya tiga komponen yang bermain di dalamnya;

Pihak yang mengajak,

Pihak yang diajak.
Jenis ajakan.
Berkenaan dengan masalah ini ada beberapa bahasan yang perlu untuk diketahui;

Hukum mengadakan acara (da’wah); pernikahan dan yang selainnya

Mengadakan acara (pesta) pernikahan adalah hal yang disyari’atkan –bahkan sebagian ulama menyatakannya wajib- berdasarkan beberapa keterangan dari  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-. Diantaranya adalah;

Perkataan  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- kepada Abdul Rahman bin ‘Auf –radhiyallahu ‘anhu- ketika beliau telah menikah;
أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[1].

Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada Ali –radhiyallahu ‘anhu- ketika hendak menikahi Fathimah –radhiyallahu ‘anha-;
إِنَّهُ لا بُدَّ لِلْعَرُوسِ مِنْ وَلِيمَةٍ

“Pengadaan acara (pesta) nikah adalah hal yang mesti bagi pasangan yang telah menikah.”[2].

Adapun dalam momen-momen yang lain, seperti; khitanan, aqiqahan, dst; maka hukum mengadakan acara berkenaan dengannya adalah mubah, karena hal itu adalah perkara keduniaan dan hukum asal dari setiap perkara keduniaan adalah mubah hingga ada dalil yang menegaskannya.

Berkenaan dengan hidangan yang disajikan, maka tidak ada ketentuan khusus tentang jenisnya. Namun hal tersebut disesuaikan dengan kesanggupan orang yang mengadakannya. Disebutkan dalam beberapa keterangan bahwa Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah mengadakan pesta walimah dengan menyajikan kurma dan sawiiq (sejenis bubur)[3], dan pernah pula Beliau menyajikan daging kambing[4].




Waktu pengadaan walimah (acara pernikahan)

Yang dzhahir dari kebiasaan  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- adalah mengadakan walimah setelah menikah, sebagaimana walimah yang Beliau adakan sehari setelah usai menikah dengan Zainab –radhiyallahu ‘anha-[5]. Imam Bukhari –rahimahullah- membawakan riwayatnya, bahwa ketika Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berjumpa dengan Abdul Rahman bin ‘Auf dan mengetahui bahwa Beliau telah menikah, -ketika itu- Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata;

أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“Selenggarakanlah acara pernikahan meskipun hanya dengan seekor kambing.”[6].

Namun demikian, tidak ada perintah tegas berkenaan dengan hal tersebut. Olehnya, maka perkara ini adalah perkara yang luas; boleh mengadakannya setelah atau pada saat akad nikah.


Beberapa adab dalam mengundang

1. Mengundang secara langsung (menyebutkan namanya)

2. Mengundang orang-orang yang baik dan shaleh.

3. Tidak boros dan tidak juga bakhil dalam acara.

4. Tidak mendesak seorang yang tengah berpuasa untuk membatalkan puasanya.

5. Bersikap ramah terhadap seluruh undangan


Mengadakan undangan yang sama secara berulang

Sebagian ulama ada yang menyatakan bahwa mengadakan undangan sejenis secara berulang lebih dari dua kali adalah makruh. Hukum ini diambil guna menghindari timbulnya fenomena saling berbangga-banggaan, bermegah-megahan, dan sombong. Disebutkan dalam sebuah riwayat;

الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ وَالثَّانِي مَعْرُوفٌ وَالْيَوْمَ الثَّالِثَ سُمْعَةٌ وَرِيَاءٌ

“Acara walimah di hari pertama adalah haq (disyari’atkan), di hari kedua adalah ma’ruf (baik), dan di hari ketiga adalah sum’ah dan riya.”[7].

Namun hadits yang disebutkan adalah lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang majhul (tidak jelas asal-usulnya) bernama Abdullah biu Utsman at Tsaqafi[8]. Olehnya maka lebih tepat –wallahu a’lam- jika dikatakan bahwa mengadakan acara lebih dari dua hari adalah hal yang mubah, tergantung kadar keluasan seseorang, yaitu selama hal tersebut tidak dimaksudkan untuk bermegah-megahan, riya’ serta sum’ah[9]. Ibnu Siiriin –rahimahullah- berkata, dari ayahnya;

أَنَّهُ لَمَّا بَنَى بِأَهْلِهِ أَوْلَمَ سَبْعَة أَيَّام فَدَعَا فِي ذَلِكَ أُبَيّ بْن كَعْب فَأَجَابَهُ

“Ketika ayahnya telah melangsungkan pernikahan dengan ibunya, maka (di hari setelahnya) Beliau mengadakan walimah selama tujuh hari. Ketika itu, Beliau mengundang Ubay bin Ka’ab –radhiyallahu ‘anhu-, dan Ubay menghadirinya.”[10].


Hukum menghadiri undangan

Mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum menjawab undangan pernikahan adalah wajib, dan ulama berbeda pendapat tentang hukum menjawab undangan selain pernikahan. Namun sebagian dari mereka menyatakan bahwa hukum menghadirinya –pun adalah wajib; baik undangan pernikahan atau undangan yang selainnya, berdasarkan sabda  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-;

إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا

“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta, maka hendaklah ia mendatanginya.”[11].

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ إِلَى وَلِيمَةِ عُرْسٍ فَلْيُجِبْ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang untuk menghadiri pesta pernikahan, maka hendaklah ia mendatanginya.”[12].

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[13].

إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ

“Apabila salah seorang dari kamu diundang oleh saudaranya, maka hendaklah ia menjawabnya; baik undangan itu adalah undangan pernikahan atau yang lainnya.”[14].

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ.

“Kewajiban seorang muslim dengan muslim yang lainnya ada lima, yaitu; menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazahnya, menjawab undangan, dan mendoakan ia ketika bersin (sedan ia mengucapkan hamdalah).”[15].

Dan jika terdapat dua undangan dalam satu waktu yang bersamaan, dan tidak mungkin untuk dikompromikan, maka hendaklah didahulukan yang terdekat rumahnya atau yang terlebih dahulu menyampaikan undangannya. Aisyah –radhiyallahu ‘anha- bertanya kepada Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-;

يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا

“Wahai Rasulullah, saya mempunyai dua orang tetangga. Kepada saiapakah dari keduanya saya harus (terlebih dahulu) memberikan hadiah?. Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda; kepada yang terdekat rumahnya dari rumahmu.”[16].

إِذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبُهُمَا جِوَارًا وَإِنْ سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبِ الَّذِى سَبَقَ

“Apabila bertepatan dua buah undangan dalam satu waktu, maka jawablah undangan orang yang paling dekat rumahnya dengan rumahmu. Namun apabila seorang dari mereka telah lebih dahulu mengundangmu, maka jawablah undangan orang tersebut.”[17].


Beberapa hal yang menyebabkan seorang boleh tidak menghadiri undangan:

1. Orang yang mengundang adalah seorang yang diboikot syar’I karena penyimpangan agama yang ia lakukan, seperti berbuat dzhalim, fasiq, dan bid’ah.

2. Harta orang yang mengundang adalah harta yang bercampur antara yang halal dan yang haram.

3. Jika yang mengundang adalah lawan jenis yang dikhawatirkan adanya fitnah dengan menghadiri undangannya.

4. Jika yang mengundang adalah non muslim, maka menjawab undangannya adalah mubah kecuali jika di dalam undangan tersebut ada kemungkaran, maka haram menghadirinya.

5. Undangan bersifat umum, maka tidak wajib menghadirinya.

6. Undangan disampaikan secara tidak jelas, misalnya dengan mengatakan: “Jika anda berkenan hadir, maka kami silahkan.”.

7. Undangan tersebut dikhususkan bagi orang-orang kaya saja, dan tidak diundang orang-orang miskin untuk menghadirinya.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَيُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ وَمَنْ تَرَكَ الدَّعْوَةَ فَقَدْ عَصَى اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Seburuk-buruk makanan adalah makanan (yang dihidangkan) dalam sebuah pesta yang undangannya hanya terdiri dari orang-orang kaya –saja- dan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak memenuhi undangan, maka sungguh ia telah mendurhakai Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.”[18].

8. Jika diprediksi bahwa dengan kehadiran seorang maka suasana acara akan keruh, maka boleh bagi orang tersebut tidak menghadiri undangan; baik karena ia memiliki masalah dengan pihak yang mengundang atau dengan salah seorang tamu yang –juga- turut diundang dalam acara tersebut.

9. Jika dalam undangan tersebut terdapat kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya kecuali jika seorang mampu merubah kemungkaran tersebut.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يَقْعُدَنَّ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah sekalipun ia duduk dalam sebuah perjamuan yang disuguhkan khamar padanya.”[19].

10. Undangan untuk hari ke-2, yaitu jika acaranya berlangsung lebih dari sehari.

11. Jika seorang memiliki udzur; baik karena jarak yang jauh, kecapean, sakit, hujan, dan yang semisalnya.

Menghadiri undangan bagi yang tidak diundang

Mayoritas ulama menyatakan bahwa haram bagi seorang yang tidak diundang untuk menghadiri sebuah undangan. Terkecuali jika ia itu adalah seorang yang diketahui adalah pendamping pribadi seorang yang diundang, yang akan selalu ikut dalam setiap acara yang dihadiri oleh orang itu. Namun demikian, tetaplah disyariatkan bagi orang yang diundang tersebut untuk memintakan izin bagi orang yang dibawanya itu, sebagaimana riwayat Abu Mas’ud al Anshaari –radhiyallahu ‘anhu-, Beliau berkata;

كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أَبُو شُعَيْبٍ وَكَانَ لَهُ غُلاَمٌ لَحَّامٌ فَرَأَى رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَعَرَفَ فِى وَجْهِهِ الْجُوعَ فَقَالَ لِغُلاَمِهِ وَيْحَكَ اصْنَعْ لَنَا طَعَامًا لِخَمْسَةِ نَفَرٍ فَإِنِّى أُرِيدُ أَنْ أَدْعُوَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- خَامِسَ خَمْسَةٍ. قَالَ فَصَنَعَ ثُمَّ أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَدَعَاهُ خَامِسَ خَمْسَةٍ وَاتَّبَعَهُمْ رَجُلٌ فَلَمَّا بَلَغَ الْبَابَ قَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ هَذَا اتَّبَعَنَا فَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَأْذَنَ لَهُ وَإِنْ شِئْتَ رَجَعَ ». قَالَ لاَ بَلْ آذَنُ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ.

“Ada seorang laki-laki dari Anshar bernama Abu Syu’aib. Ia memiliki seorang pembantu yang berprofesi sebagai tukang daging. Suatu ketika Abu Syu’aib melihat Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Ia mengetahui dari raut wajah Rasulullah bahwa Beliau sedang lapar. Maka Ia pun menyuruh pembantunya itu membuat makanan untuk lima orang, karena Ia akan mengundang kelimanya. Maka sang pembantu pun membuat makanan untuk lima orang, kemudian Ia mendatangi Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengundangnya untuk makan bersama lima orang sahabatnya. Rasulullah bersama kelima sahabatnya pun mendatangi undangan itu yang diikuti oleh seorang lagi (yang tidak diundang). Ketika sampai di pintu, Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- berkata kepada Abu Syu’aib; saya meminta izin kepadamu untuk mengikutkan seorang sahabat saya ini. Jika engkau mengizinkannya, maka ia masuk, tetapi jika engkau tidak mengizinkannya, maka ia akan pulang. Abu Syu’aib berkata; saya mengizinkannya wahai Rasulullah.”[20].

Beberapa adab bagi yang diundang

1. Niat ibadah dan memuliakan orang yang mengundang

2. Tidak masuk ke rumah orang yang mengundang kecuali dengan izin darinya.

3. Tidak bersikap berlebihan ketika menghadiri undangan, yaitu agar orang-orang melihat, memuji dan menyanjungnya

4. Tidak menolak untuk mencicipi sajian dalam undangan kecuali jika ia tengah berpuasa.  Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda;

إِذَا دُعِىَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ

“Apabila salah seorang dari kalian diundang maka hendaklah ia menjawabnya. Jika ia tengah berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan (pemilik hajatan itu). Namun jika ia sedang tidak berpuasa, maka hendaklah ia mencicipi hidangan dalam acara itu.”[21].

5. Memperhatikan adab-adab dalam mencicipi makanan.

6. Mendoakan orang yang mengundang ketika akan pulang. Beberapa lafadz doanya adalah;

اللهم اغفر لهم وارحمهم وبارك لهم في رزقهم
“Ya Allah, ampunilah mereka, rahmati dan berkahilah harta mereka.”[22].

أَكَلَ طَعَامَكُمْ الْأَبْرَارُ وَصَلَّتْ عَلَيْكُمْ الْمَلَائِكَةُ وَأَفْطَرَ عِنْدَكُمْ الصَّائِمُونَ
“Orang-orang baik telah memakan hidanganmu, para malaikat telah mendoakanmu, dan orang-orang yang berpuasa telah berbuka di acaramu ini.”[23].

Lafadz doa ketika menghadiri undangan pernikahan;

بَارَكَ اللَّهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِى خَيْرٍ

“Semoga Allah memberkahi engkau di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan semoga Allah (senantiasa) mengumpulkan kalian berdua di dalam kebaikan.”[24].

7. Tidak berlama-lama menghadiri undangan.

Demikian beberapa hal berkenaan dengan permasalahan seputar undangan, wa alhamdulillahi Rabbi al ‘Aalamiin.

Tidak ada komentar: